Anak perempuan saya, Arundaya Nandira Lituhayu, lahir pada 25 Oktober 2018 lalu. Meski kami baru menjalani kebersamaan selama tak kurang dari dua bulan, kehadiran Aya menjadi perantara saya mempelajari banyak hal dalam hidup. Menjalani peran sebagai seorang ibu menempa saya menjadi lebih berserah diri, self-less, dan sabar. Teringat pesan dari seorang guru bahwa dinamika takdir dalam hidup merupakan Al Maidah, yaitu hidangan, yang Allah sajikan sebagai nutrisi bagi kita, hamba-Nya, untuk mendewasa secara spiritual.

Bagi seorang yang baru menjalani peran sebagai ibu, merawat seorang new born baby untuk pertama kalinya tidaklah mudah. Tantangan terbesar menjadi ibu baru justru berasal dari dalam diri sendiri. Saya harus berperang melawan keegoisan diri, melakukan berbagai penyesuaian pada berbagai hal. Sebelum Aya lahir, saya bisa melakukan apa saja dan kapan saja. Saya bisa berpergian kemana saja tanpa khawatir ada yang menunggu untuk disusui di rumah. Saya bisa membalas pesan dan berselancar di sosial media kapan saja tanpa perlu khawatir ada yang meminta perhatian saya. Saya bisa mengatur segala hal sesuai dengan kebutuhan diri sendiri.

Namun semua hal berubah ketika Aya lahir. Aktivitas saya berpusat pada kehadirannya. Ketika dia rewel, saya harus segera memeriksa penyebabnya. Apakah itu karena ia lapar ingin menyusu, popoknya sudah penuh kotoran, atau karena ketidaknyamanan lainnya. Saya tidak bisa lama-lama dan sembarang ke luar rumah karena Aya membutuhkan ASI saya. Saya tidak bisa menggunakan smartphones sekehendak saya karena harus hadir secara fisik dan batin saat menyusui dan menemani Aya. Waktu luang yang saya miliki hanya ketika ia tertidur dan digendong oleh anggota keluarga lainnya.

Masa transisi menjadi seorang ibu adalah masa yang cukup berat, terlebih bagi saya yang tidak terbiasa bergadang dan tidur larut malam. Ketika baru terlelap beberapa menit, saya harus bangun menghampiri Aya karena mendengar tangisannya di malam hari. Entah karena lapar, popoknya penuh, atau sebab lain. Dalam kondisi super ngantuk, saya harus menahan mata tertutup rapat selama setengah sampai satu jam untuk menyusui Aya. Syukur kalau ia langsung terlelap tidur, terkadang ia akan terbangun dan menangis setiap kali diletakkan kembali di atas tempat tidur. Hari-hari terasa lebih melelahkan ketika ia kolik, mengalami growth spurt, dan wonder weeks. Ia bisa menangis berjam-jam dengan histeris meski sudah berupaya ditenangkan dengan beragam cara. Para ibu tentu mengerti bagaimana situasi ini berlangsung. Maka tidak heran, ketika seorang ibu tidak siap secara psikologis menghadapi masa transisi ini, ia akan mengalami baby blues bahkan post partum depression.

Air akan selalu jernih jika bergerak mengikuti arus dan berubah keruh ketika mengendap di satu tempat. Kita pun harus bergerak seperti air, mengikuti arus takdir kehidupan agar tetap menjadi jernih. Bagi yang ditakdirkan menjadi seorang ibu, mengalirlah seperti air mengikuti tuntutan peran yang harus dijalani. Saya merasakan sendiri ini tidak mudah karena saya harus melampaui ego saya sendiri. Namun ketika saya membuka diri, mulai menerima, dan mengikuti arus kehidupan seperti air yang mengalir, semua terasa lebih mudah. Bangun malam? tinggal bangun. Membersihkan popok? bersihkan saja. Menyusui saat mengantuk berat? Lakukan dan bertahan. Bayi menangis histeris? Temani dan buatlah dia nyaman. Semua terasa simpel ketika dijalani tanpa mengeluh. Dari situasi ini, saya semakin memahami makna berserah diri yaitu menyerahkan diri kita pada aliran takdir yang Allah gulirkan seperti kalimat mengalirlah seperti air, menarilah bersama angin.

Ajaibnya, meskipun banyak tantangan yang kita hadapi saat menjalani peran sebagai ibu, semua kelelahan terbayar saat kita melihat si kecil menyapa kita dengan senyumnya dan tumbuh dengan sehat. Alhamdulillah Ya Allah, being Mom is awesomely rock!

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *