“Kok gendongnya gitu sih?”

“Kok anaknya dikasih sufor, bukan ASI ?”

“Kamu lama amat gantiin popoknya..”

“Kok anaknya kurus, makannya kurang ya..”

Pertanyaan dan komentar semacam itu kerap terlontar kepada seorang ibu yang baru melahirkan dari orang-orang sekitar. Apa yang saya alami tidak jauh berbeda, beberapa pertanyaan dan komentar serupa pernah tertuju kepada saya pasca melahirkan. Sebenarnya pertanyaan dan komentar semacam itu terdengar biasa saja, namun karena kondisi fisik terasa lelah pasca persalinan dan kondisi emosional yang masih beradaptasi karena kehadiran sang bayi, pertanyaan dan komentar semacam itu terus terang membuat saya merasa buruk terhadap diri sendiri.

Ternyata pertanyaan itu tidak hanya pernah tertuju pada saya, tetapi juga pernah tertuju hampir kepada semua ibu baru pasca melahirkan. Sebagai ibu baru yang minim pengalaman merawat anak, kondisi ini mengundang orang lain berkomentar ketika menemukan suatu kekurangan yang dilakukan sang ibu dalam merawat anak. Karena dialami oleh sebagian besar ibu-ibu, kejadian ini memiliki nama resminya yaitu mom shaming, yaitu suatu tindakan memalukan seorang ibu, membuatnya merasa bersalah, dan apa yang dilakukannya terhadap anak tidak benar.

Sebuah penelitian mengenai mom shaming pernah dilakukan oleh University of Michigan di sebuah rumah sakit anak. Dari 475 ibu dengan anak di bawah usia lima tahun yang disurvey, sebanyak 37% pernah mengalami mom shaming oleh orang tuanya sendiri, 31% oleh mertua, 36% oleh pasangan (Dikutip dari Republika, 2016).

Kalau ditelisik, ada dua alasan mengapa seseorang menanyakan pertanyaan dan berkomentar seperti itu kepada seorang ibu. Pertama, karena merasa superior, merasa lebih banyak pengalaman dalam mengasuh anak dan melihat ibu lain memiliki kekurangan. Saya mengamati pertanyaan dan komentar ini biasanya terlontar dari ibu-ibu senior. Kedua, karena ungkapan prihatin dan ingin memberi masukan. Sebenarnya orang yang menyampaikan bermaksud baik, ingin memberikan masukan bahwa ada pola pengasuhan yang perlu diperbaiki. Namun karena cara penyampaian dan waktu yang kurang pas, hal ini justru bikin new mom baper.

New Mom yang baru melahirkan rentan mengalami baby blues syndrome. Dikutip dari parents.com, sekitar 50-80% new mom mengalami baby blues atau perubahan hormon pasca melahirkan yang membuat seorang ibu merasa sedih dan moodnya berubah-rubah.  Saya juga merasa mengalami baby blues selama beberapa hari pasca melahirkan sehingga merasa sensitif dengan perkataan orang lain yang mengomentari mengapa perut saya melar, anak saya rambutnya sedikit, dan ASI keluar sedikit.

Lalu, apa yang sebaiknya new mom lakukan ketika mengalami Mom Shaming pasca melahirkan ?

Menghadapi pertanyaan dan komentar kritis dari orang lain pasca melahirkan menurut saya terasa lebih berat ketimbang saat dalam kondisi normal. Kita baru saja berjuang melewati proses persalinan yang mempertaruhkan hidup dan mati, berjuang menyusui padahal ASI belum keluar banyak, bergadang menemani si kecil yang mesti disusui setiap 2-3 jam sekali.

Oh Yes, kita bisa lalui semua itu atas pertolongan-Nya. Kalau kita bisa menghadapi semua tantangan itu, mestinya kita juga bisa menghadapi pernyataan dan komentar kritis dari orang-orang karena ini lebih mudah.

Saat menghadapi Mom Shaming kita nggak punya pilihan lain selain bersabar. Percayalah, ini semua terjadi atas izin-Nya dan Allah sudah menakar kadar perasaan kita menghadapi pernyataan dan komentar kritis itu. Ada orang bijak yang mengatakan bahwa kita tidak bisa menutup mulut semua orang, namun kita bisa menutup telinga kita. Literally, menutup telinga berarti merubah sikap kita dalam menghadapi Mom Shaming karena kita tidak bisa mengontrol sikap orang lain. Kalau saya memilih diam atau menjawab seperlunya jika ada yang menyampaikan pertanyaan dan komentar kritis semacam itu. Pertama-tama memang saya merasa terganggu, namun setelahnya terasa biasa saja.

Berbaik sangka kepada orang lain akan membuat kita merasa baik dibandingkan berburuk sangka. Jika ditanggapi secara positif, pertanyaan dan komentar kritis itu kadang ada yang masuk akal dan membangun. Sebagai ibu baru, saya masih kaku menggendong bayi di hari-hari pertama pasca kelahiran. Orang tua saya lantas berkomentar, “kok gitu sih gendongnya, kaku amat..”

Ya gimana dong, saya kan baru pertama kali ini punya anak dan tidak terbiasa menggendong bayi. Wajar kalau masih kaku.

Kesal sih, namun saya bersikap terbuka. Saya balik menanyakan, “..Emang gimana cara gendong yang benar ?” Lalu saya diajarkan menggendong bayi yang membuatnya merasa lebih nyaman. Tidak semua Mom Shaming itu negatif kalau kita mau membuka diri dengan kritikan.

Meski demikian, ada juga Mom Shaming yang gak membangun dan gak perlu ditanggapi. Saya pernah dikomentari mengapa perut saya tampak buncit dan melar pasca melahirkan, “Kok perutnya masih buncit ya, padahal bayinya udah keluar. Gue dulu abis lahiran langsung langsingan lho, lihat nih perut gue sekarang..”

Sampeyan mikir ? Saya baru lahiran tadi pagi, terus mesti langsing sorenya. Terus dibandingin sama perut dia yang agak kempesan karena melahirkan 2 tahun silam. Komentar seperti ini yang saya abaikan karena tidak membangun.

Dari kejadian ini, saya belajar untuk menjaga perasaan orang lain. Pertanyaan dan komentar yang membuat saya terganggu sebisa mungkin tidak akan saya lontarkan kepada new mom yang baru melahirkan kelak. Kalau ingin memberikan masukan, tentu ada cara lain yang lebih elok dengan mempertimbangkan waktu dan cara penyampaian yang tepat.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *