Artikel
“It is easier to build strong child than to repair a broken man”
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan mutlak bagi manusia yang memiliki akal dan pikiran agar menjadi sosok yang beradab dan mampu bertindak dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ketiadaan pendidikan dalam kehidupan seorang manusia menjadi faktor malapetaka besar bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya karena ketika seseorang berhenti belajar maka potensi pikiran dan akal budi dalam dirinya tidak berkembang. Sementara itu, semakin dewasa seseorang, potensi hewani (kebutuhan makan, minum, seks, bersenang-senang) dalam dirinya terus berkembang. Manusia harus mengembangkan potensi akal budinya melalui pendidikan agar mampu mengendalikan sifat hewani yang secara alamiah berkembang dalam dirinya. Itulah mengapa pendidikan berperan besar dalam membentuk manusia menjadi makhluk yang beradab.
Pendidikan tidak selalu identik dengan sekolah formal karena sejatinya pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran yang bisa dilakukan kapan dan dimana saja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Dengan kata lain, upaya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tersebut dapat dilakukan oleh individu secara otodidak tanpa terikat oleh institusi formal. Untuk itu, istilah pendidikan non formal diperkenalkan secara spesifik untuk menyebutkan proses pendidikan yang ditempuh di luar institusi pendidikan formal.
Materialisasi pendidikan yang terjadi di era ini, meskipun mempengaruhi cara pandang seseorang dalam menuntut pendidikan, sama sekali tidak menggeser esensi pendidikan secara fundamental. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menjelaskan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara hakikat, tujuan dari pendidikan adalah membentuk individu yang memiliki karakter dengan nilai-nilai tersebut.
Pola asuh dalam keluarga merupakan salah satu bentuk pendidikan non-formal yang mempengaruhi kualitas karakter individu. Pengaruh pola asuh terhadap individu terbukti memiliki dampak yang signfikan bagi perkembangan fisik dan psikisnya. Jun dan Han (2013) menjelaskan bahwa keterlibatan orang tua dalam pengasuhan mempengaruhi tiga dimensi dalam diri anak, antara lain : (1) perkembangan kecerdasan emosional (melalui bermain, pendampingan, memberikan perhatian, perkembangan fisik, sosial, dan spiritual, (2) pengembangan tanggung jawab, kemandiran, penerapan etika/moral, perkembangan karir, disiplin, perlindungan, dan memberikan pendidikan formal, serta (3) pengembangan kecerdasan buatan (meliputi pengembangan kompetensi, mentoring, mengajar, memberi nasehat, dan pembangunan kecerdasan). Ketiga jenis dimensi ini mempengaruhi kualitas kemanusiaan dalam diri individu secara paripurna.
Dalam sebuah keluarga, ibu dan ayah setara memiliki peran penting dalam pengasuhan. Keduanya punya cara berbeda dalam pengasuhan yang saling melengkapi dan dibutuhkan dalam perkembangan anak. Seorang ibu umumnya berperan untuk memberikan rasa aman bagi sang anak, sebagai pendidik, memberikan keseimbangan emosional, dan memperkuat pondasi mental dan moral anak. Sementara itu peran seorang ayah dalam pengasuhan adalah menciptakan lingkungan pengasuhan yang aman untuk ibu dan anak, mengarahkan pengasuhan, dan mengarahkan terbentuknya kompetensi akademik dan profesi. Pada beberapa keluarga, ada figur ibu yang digantikan oleh bibi, nenek, atau kakak perempuan dan figur ayah yang digantikan oleh paman, kakek, atau kakak laki-laki. Seorang anak membutuhkan figur ibu dan ayah dalam suatu keluarga agar memperoleh keseimbangan dalam proses perkembangan emosionalnya.
Ketiadaan pola asuh yang positif dari figur ibu dan ayah dalam hidup seorang individu menyebabkan adanya ketidakseimbangan. Dikutip dari youaremom.com, figur ibu dalam pengasuhan sangat penting bagi seorang anak dalam proses kelekatan. Ada beberapa konsekuensi besar yang akan terjadi apabila seorang anak kehilangan figur ibu :
- Anak-anak merasa kesepian dan tidak berharga sehingga mereka menjadi mudah marah dan frustrasi.
- Kehilangan kepercayaan terhadap orang lain sehingga cenderung mencurigai orang-orang yang mendekatinya.
- Mengalami kesulitan dalam menentukan batasan. Dari sejumlah pengamatan, banyak anak perempuan yang kehilangan figur ibu cenderung menjadi begitu tunduk dalam suatu hubungan percintaan.
- Mengalami kesulitan dalam memberikan penilaian terhadap diri sendiri.
- Menjadi sangat sensitif sehingga mudah tersinggung dan bereaksi secara berlebihan.
- Cenderung berperilaku buruk karena kehilangan figur ibu sebagai pendidik.
- Mengalami masalah dalam pergaulan karena merasa tidak aman. Remaja yang kehilangan figur ibu cenderung mudah bergantung pada seseorang yang dapat membuat mereka merasa nyaman.
- Ketidakseimbangan emosional seperti rendah diri, depresi, kecemasan, kurang motivasi, dan lainnya.
- Masalah kesehatan.
Ketiadaan figur ayah dalam pengasuhan pun berdampak negatif bagi anak. Dampak yang dirasakan anak karena ketiadaan figur ayah dalam pengasuhan pun tidak kalah berbahaya. Seperti dikutip dari website Psychology Today, dampak negatif yang dirasakan anak antara lain :
- Kehilangan konsep diri karena merasa tidak aman dan terabaikan. Akibatnya anak mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi.
- Masalah perilaku yang menyebabkan anak sulit melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. Sejumlah pengamatan menunjukkan bahwa anak yang diasuh tanpa figur ayah mengalami masalah dalam pertemanan, menjadi agresif dan arogan, kerap mengintimidasi temannya sebagai bentuk ketakutan, kekecewaan, kekhawatiran, dan kesedihan yang tersimpan di alam bawah sadar.
- Performa akademik yang buruk sehingga nilai akademiknya dibawah rata-rata, sering membolos, berhenti sekolah, dan prestasi kerja yang rendah.
- 85% remaja yang berada di penjara karena menjadi pelaku kekerasan umumnya kekurangan figur ayah dalam pengasuhan.
- Mengalami masalah kesehatan seksual. Umumnya remaja yang melakukan seks pranikah dan hamil di luar nikah memiliki latar pengasuhan dimana ayah tidak terlibat di dalamnya. Remaja perempuan yang tidak memperoleh kasih sayang ayah cenderung mudah jatuh cinta pada pria yang memberikan perhatian padanya karena mengalami kelaparan emosional akan perhatian lawan jenis. Tidak jarang, remaja perempuan ini menjadi objek eksploitasi seksual pria.
- Penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol.
- 90% anak yang melarikan diri dari rumah adalah mereka yang kehilangan figur ayah.
- Mengalami eksploitasi dan kekerasan dari orang lain. Anak-anak yang kehilangan figur ayah umumnya memiliki resiko 5x lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan emosional dan 100x lebih rentan mengalami kekerasan fatal yang menyebabkan kematian.
- Anak yang kehilangan figur ayah juga mengalami masalah psikosomatis seperti nyeri kronis, pusing, dan sakit perut.
- Serta rentan mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan berlebih, dan bunuh diri.
Bayangkan jika seorang anak kehilangan kedua jenis figur atau salah satunya dan tidak mendapatkan figur pengganti. Saat dewasa, anak-anak ini akan menemukan tantangan besar pada kehidupan sosialnya karena memiliki masalah psikis.
Figur kedua orang tua begitu dibutuhkan dalam tumbuh kembang anak, secara khusus untuk menjaga dan menumbuhkan beragam potensi atau fitrah yang ada pada diri sang anak. Ketiadaan figur orang tua atau salah satunya seyogyanya memperoleh figur pengganti sehingga anak tetap memperoleh pengasuhan yang dibutuhkan selama proses perkembangan. Mendapatkan perlindungan dan kasih sayang merupakan hak anak yang patut diperhatikan dalam masa tersebut.
Pengabaian terhadap hak anak akan memberikan dampak negatif di kemudian hari, baik bagi anak tersebut, orang-orang di sekelilingnya, maupun lingkungan sekitarnya. We give what we received, demikian kalimat tersebut selaras untuk mendeskripsikan fenomena ini. Jika anak memperoleh cinta, maka cinta yang akan diberikan kepada sekitarnya. Bayangkan bahwa generasi di masa mendatang adalah generasi yang tumbuh bersama figur ayah dan ibu, memperoleh aliran kasih sayang dari kedua orang tuanya, sehingga menjadi generasi yang secara relatif tidak hanya memiliki kesehatan fisik yang memadai dan kecerdasan yang mumpuni, tetapi juga generasi yang memiliki empati, moralitas, dan kesadaran sosial.
Dengan memberikan pola asuh yang dibutuhkan, orang tua berpartisipasi dalam membangun negeri ini melalui proses pendidikan non-formal yang diberikan kepada anak di rumah. Fundamental, solid, dan konsisten, demikianlah proses panjang pembangunan manusia terbentuk dan dimulai dari lingkungan keluarga. Sejatinya, apabila ditelisik lebih lanjut, faktor penentu masa depan negeri ini di masa mendatang terletak pada bagaimana orang tua mendidik anak-anak sehingga mereka siap memimpin negeri ini di masa mendatang. Dengan cara tersebut, orang tua berpartisipasi dalam proses pembangunan manusia sebagai aktor pembangun peradaban.