“Nak, kamu itu mestinya rajin kayak si anu.. tuh lihat, dia suka bantu mamanya beres-beres. Kalau habis bangun tidur, kamarnya dibersihkan sendiri.”

“Rika, anak tetangga sebelah itu pinter banget ya. Kemarin baru lomba juara olimpiade matematika. Kamu mestinya niru dia tuh, jadi juara. Hebat deh!”

Apakah Ayah dan Bunda termasuk yang suka banding-bandingin anak sama tetangga, teman, atau bahkan saudaranya?
Kalau iya, sepertinya kita perlu STOP kebiasaan tersebut. Mungkin niat kita baik ya, ingin memotivasi anak dengan memberikan contoh. Namun ternyata cara ini bukanlah metode yang tepat dan efektif. Boro-boro anak akan termotivasi, justru mereka bete dan merasa tidak dicintai secara tulus oleh kita, orang tuanya.

Seandainya kita dibanding-bandingkan dengan orang lain gimana? Misal suami bilang, “Itu masakan yg dikirim tetangga kemarin enak banget. Beda dengan masakan kamu bumbunya kurang pas.”

Atau ibu mertua banding-bandingin kita dengan menantu lainnya, “Lihat tuh sih Anu, rajin banget. Kalau kamu kok malas sih. Rumah berantakan terus.. kamu gak telaten ya merawat rumah.”

Yaa pastinya nyebelin banget kan. Itulah yang dirasakan anak ketika ia dibanding-bandingkan dengan anak lain. Bukannya malah termotivasi, si anak malah kesal, merasa tidak diterima dan dicintai dengan tulus.

Kalau pun pada akhirnya si anak terlihat seolah-olah termotivasi untuk melakukan sesuatu setelahnya, percayalah ia berubah semata-mata bukan karena dorongan dari dalam dirinya, melainkan agar dirinya diterima dan dicintai oleh orang tuanya.

Ayah Bunda mungkin berpikir membanding-bandingkan itu memberikan dampak positif pada diri anak setelah melihat perilakunya berubah sesuai harapan. Namun yang terjadi sebenarnya Ayah Bunda sedang memupuk sifat negatif dalam diri anak jika terus menerus membanding-bandingkannya.

Memupuk sifat iri dengan pencapaian orang lain adalah salah satu dampak negatif yang mungkin timbul. Karena anak berpikir bahwa hanya dengan meraih pencapaian seperti anak lain, orang tua bisa mencintainya. Anak mungkin berusaha meraih pencapaian yg diharapkan orang tua, dan ia mungkin bisa berhasil. Namun kalau tidak berhasil mencapainya, ia bisa frustasi dan merasa iri terhadap anak lain.

Bagaimana kalau rasa iri ini terus berkembang, bahkan sampai ia dewasa. Setiap kali melihat keberhasilan orang lain, ia mudah iri. Sifat ini berakibat negatif untuk perkembangan mentalnya ketika anak memasuki dunia akademik dan kerja.

Dampak negatif lainnya yang mungkin anak alami adalah sulit mencintai diri sendiri. Anak-anak yang selama proses tumbuh kembangnya selalu dibanding-bandingkan tentu sulit melihat kelebihan dalam dirinya karena orang tua selalu menonjolkan kelemahannya.

Dalam alam bawah sadarnya, anak mungkin berpikir bahwa dirinya penuh kesalahan dan kekurangan sehingga tanpa sadar ia bisa membenci dirinya sendiri.

Kebencian pada diri sendiri bisa timbul dalam bentuk keinginan menjadi orang lain, mengkritik diri terlalu keras ketika melakukan kesalahan, kecanduan game atau pornografi sebagai bentuk melarikan diri dari realitas, bahkan melukai diri sendiri (self abusive).

Sebagai orang tua, kita tentu menginginkan anak menjadi orang dewasa yang sehat mentalnya. Sah-sah saja kalau kita punya keinginan agar anak termotivasi melakukan hal-hal positif, asalkan cara yang kita pergunakan tidak melukai harga dirinya.

Daripada membanding-bandingkan, ada cara lain yg lebih efektif agar anak termotivasi dan terinspirasi melakukan hal-hal positif. Berikut beberapa alternatif sikap yang bisa kita lakukan :

1. Bercerita

Kita bisa menceritakan pengalaman hidup diri sendiri atau orang lain kepada anak. Misalnya, kalau ingin anak membuang sampah pada tempatnya, kita dapat menceritakan apa akibat yang terjadi jika sampah berceceran. Kaitkan cerita tersebut dengan pengalaman kita sendiri dan fenomena apa yang terjadi di sekitarnya. Jadi tidak perlu membanding-bandingkan anak dengan anak lain yang sudah sadar untuk membuang sampah pada tempatnya.

 

2. Tonjolkan Sisi Positif Anak

Setiap anak memiliki kekurangan dan kelebihan. Carilah kelebihan apa yang dia miliki dan selalu ingatkan anak akan kelebihan tersebut. Misalnya, anak kurang bertanggung jawab merapikan mainannya tetapi ia memiliki sikap empati yang besar.
Kita bisa sampaikan kepada anak kalau tidak merapikan mainannya, ia bisa menimbulkan kesulitan pada diri sendiri dan orang lain. Mainannya bisa hilang dan rusak karena tercecer bahkan mainan tersebut bisa melukai kalau tidak sengaja terinjak orang lain.

3. Bersyukurlah

Kalau anak mulai menunjukkan perubahan sikap positif meskipun lambat, tetaplah bersyukur. Hargai proses yang anak lakukan. Kalau anak mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan meskipun sedikit, pujilah ia dan sampaikan bahwa kita sungguh menghargai kesediaannya merubah perilaku.

Tentu saja banyak alternatif lainnya yang bisa kita lakukan untuk memotivasi anak agar berperilaku sesuai yang kita harapkan tanpa membanding-bandingkan.

Anak-anak adalah amanah yang harus kita jaga. Sejatinya, mereka hanya titipan, bukan milik kita. Membesarkan anak menjadi pribadi yang berakhlak baik merupakan tanggung jawab yang harus kita letakkan sebagai salah satu prioritas.

Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan bertanggung jawab serta bermental sehat.

1 reply

Trackbacks & Pingbacks

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *