“Dek, inget ya kalau kamu nakal, nanti Mama lebih sayang ke Dek Aya, jadi nggak sayang kamu lagi.” Canda sepupu saya kepada anaknya, Riana, sambil mengelus-ngelus kepala anak saya, Aya, yang berada dalam gendongan. Sengaja ia menggoda Riana yang berusia dua tahun agar merasa cemburu.
Mendengar kalimat ibunya, senyuman yang semula membuncah di wajah Riana mendadak berganti jadi kerutan kemarahan. Ia berteriak dan menangis, tampak frustasi melihat “keberpihakan” ibunya pada anak saya.
Sepupu saya tertawa melihat kecemburuan Riana. Ia lalu menghampiri sang anak dan menggendongnya, “Cup, cup, sayang.. Mama bercanda kok.” Katanya menenangkan Riana.
“Nah begini dia, kalau lihat Mamanya lebih sayang sama anak lain malah nggak suka.” Kata sepupu saya sambil terkekeh.
Saya yang ada di tempat itu merasa agak risih dengan sikap sepupu saya. Ya ampun, dia anggap ini bercanda..
Sebagai orang dewasa kadang kita tidak peka dengan perasaan anak. Sikap negatif yang ditunjukkan anak kadang dianggap wajar, orang tua mengabaikan sinyal ketidaknyamanan yang anak tunjukkan karena menganggap itu hal sepele. Bahkan terkadang orang tua menganggap ekspresi kemarahan dan kesedihan yang anak tunjukkan adalah hal yang lucu.
Padahal bagi seorang anak seperti Riana, sikap ibunya itu amat menyakiti perasaannya. Tentu saja ia panik ketika sang ibu mengatakan akan mengalihkan rasa cinta itu ke anak lain selain dirinya. Padahal bagi seorang balita, ibu adalah dunianya, tempat ia memperoleh limpahan kasih sayang dan rasa aman. “Jika ibu mencintai anak lain, siapa yang akan mencintaiku ?” barangkali demikian isi kepala anak saat melihat sang ibu memberikan perhatian pada anak lain, entah itu saudara kandungnya atau anak lain.
Meski hanya sekedar bercanda, orang tua tidak selayaknya mengatakan ia lebih mencintai anak lain, apalagi dengan sengaja menunjukkan sikap keberpihakan disertai dengan mengabaikan diri sang anak. Logika anak balita belum berkembang sehingga ia belum mampu mengidentifikasi apakah sikap orang tuanya serius atau main-main.
Bagi saya, tindakan itu agak mengkhawatirkan. Riana bisa saja mengekspresikan kemarahan itu kepada anak saya karena ulah sang ibu. Jika sang ibu sering melakukan bercandaan semacam itu terlalu sering, dia bisa menjadi sosok yang insecure, merasa was-was berhubungan dengan lawan jenis karena berpikir siapapun yang kelak mencintainya sewaktu-waktu bisa mengabaikan dirinya dan mencintai sosok lain.
Ketika orang tua mengatakan bahwa ia lebih mencintai saudaranya dibanding dirinya, anak akan menganggap bahwa cinta sang ibu berpindah atau berkurang untuk dirinya. Anak merasa frustasi dengan tindakan itu lalu mengekspresikannya dengan kemarahan dan kesedihan. Rasa frustasi yang anak alami karena akan bertransformasi kepada kebencian, entah ditujukan ke orang tuanya atau anak lain.
Untuk itu para orang tua harus bijak dalam mengekspresikan rasa sayang kepada anak, baik antar saudara kandung, sepupu, atau anak lain. Hindari kebiasaan bercanda bahwa kita lebih memilih anak lain ketimbang dirinya, menunjukkan keberpihakan, atau mengapresiasi anak lain dengan mengabaikan dirinya. Anak akan berpikir bahwa kasih sayang itu terbatas dan bisa habis jika diberikan kepada orang lain. Padahal kasih sayang tidak berbatas dan bisa kita bagikan kepada siapapun.
Dulu kita pernah menjadi anak-anak dan mungkin pernah mengalami kejadian ini. Bagaimana kira-kira perasaan kita saat menyaksikan orang tua menunjukkan keberpihakan dan membanding-bandingkan kita dengan saudara kandung atau anak lain dan mengabaikan kita ? Tentu kita tidak suka kan.
Menumbuhkan rasa aman secara fisik dan emosional pada anak merupakan prasyarat penting agar proses tumbuh kembang anak tidak terhambat. Ketika merasa aman dan dicintai, anak akan melihat dunia sebagai tempat yang aman untuk ditempati dan memperlakukan sekitarnya dengan kasih sayang. Hal itu dapat kita wujudkan dengan menghindari kata-kata dan sikap yang dapat melukai perasaan anak meski hanya sebuah candaan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!